Prasta Mahardika 12RPLB
Peristiwa tragedi kemanusiaan di Tanjung Priok pada
pertengahan tahun 1984, merupakan salah satu dari sekian banyak rentetan jejak
dan fakta kelamnya masa pemerintahan Suharto. Satu masa rezim militer yang
berlumuran darah dari awal masa kekuasaannya sampai akhir masa kediktatorannya.
Hal itu dilakukan karena pada masa rezim New Order atau Orde Baru itu, banyak sekali
sejarah-sejarah yang tak boleh dipublikasikan, ditulis ulang, dibengkokkan,
lalu di propagandakan melalui media-media zombie yang pada masa lalu, bagai
‘media peliharaan’.
Suharto, presiden diktator era Orde Baru (New Order) yang berkuasa selama 32 tahun yang
selalu menang pemilu 6 kali berturut-turut alias hat trick dua kali oleh pemilihan presiden secara
tak langsung (dipilih oleh DPR/MPR).
Kemiliteran dibentuk untuk menopang kekuasannya dan
selalu siap menjalankan perannya sebagai kekuatan negara untuk menghadapi
rongrongan ideologi apapun, termasuk ideologi agama yang diakui di Indonesia.
Mayoritas penduduknya tinggal dirumah-rumah sederhana
yang terbuat dari barang bekas pakai dan kebanyakan penduduknya bekerja sebagai
buruh galangan kapal, dan buruh serabutan.
Dengan kondisi sosial ekonomi yang rendah ditambah
dengan pendidikan yang minim seperti itu, menjadikan Tanjung Priok sebagai
wilayah yang mudah sekali terpengaruh dengan gejolak dari luar, sehingga mudah
sekali tersulut berbagai isu.
Pada pertengahan tahun 1984, beredar isu tentang RUU
organisasi sosial yang mengharuskan penerimaan azas tunggal. Hal ini
menimbulkan implikasi yang luas. Diantara pengunjung masjid di daerah ini,
terdapat seorang mubaligh yang terkenal, menyampaikan ceramah pada jama’ahnya
dengan menjadikan isu ini sebagi topik pembicarannya, sebab Rancangan
Undang-Undang tsb sudah lama menjadi masalah yang kontroversial.
Pada tanggal 7 September 1984, seorang Babinsa
beragama Katholik sersan satu Harmanu datang ke musholla kecil yang bernama
“Musholla As-sa’adah” dan memerintahkan untuk mencabut pamflet yang berisi
tulisan problema yang dihadapi kaum muslimin pada masa itu, dan disertai
pengumuman tentang kegiatan pengajian yang akan datang.
Tak heran jika kemudian orang-orang yang disitu marah
melihat tingkah laku Babinsa itu. pada hari berikutnya Babinsa itu datang lagi
beserta rekannya, untuk mengecek apakah perintahnya sudah dijalankan apa belum.
Setelah kedatangan kedua itulah muncul isu yang menyatakan, kalau militer telah
menghina kehormatan tempat suci karena masuk mushola tanpa menyopot sepatu, dan
menyirami pamflet-pamflet di musholla dengan air comberan.
Kronologi Pembantaian
Sabtu, 8 September 1984
Dua orang petugas Koramil (Babinsa) tanpa membuka
sepatu, memasuki Mushala as-Sa’adah di gang IV Koja, Tanjung Priok, Jakarta
Utara. Mereka menyiram pengumuman yang tertempel di tembok mushala dengan air got
(comberan). Pengumuman tadi hanya berupa undangan pengajian remaja Islam
(masjid) di Jalan Sindang.
Ahad, 9 September 1984
Peristiwa hari Sabtu (8 September 1984) di Mushala
as-Sa’adah menjadi pembicaran masyarakat tanpa ada usaha dari pihak yang berwajib
untuk menawarkan penyelesaan kepada jamaah kaum muslimin.
Senin, 10 September 1984
Beberapa anggota jamaah Mushala as-Sa’adah berpapasan
dengan salah seorang petugas Koramil yang mengotori mushala mereka. Terjadilah
pertengkaran mulut yang akhirnya dilerai oleh dua orang dari jamaah Masjid
Baitul Makmur yang kebetulan lewat yaitu Syarifuddin Rmbe dan
Sofyan Sulaiman dua orang takmir masjid “Baitul Makmur” yang berdekatan dengan
Musholla As-sa’adah, berusaha menenangkan suasana dengan mengajak ke dua tentara
itu masuk ke dalam sekretarit takmir mesjid untuk membicarakan masalah yang
sedang hangat.
Ketika mereka sedang berbicara di depan kantor, massa
diluar sudah terkumpul. Kedua pengurus takmir masjid itu menyarankan kepada
kedua tentara tadi supaya persoalaan disudahi dan dianggap selesai saja. Tapi
mereka menolak saran tersebut. Massa diluar sudah mulai kehilangan
kesabarannya.
Sementara usaha penegahan sedang berlangsung,
orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak ada urusannya dengan permasalahan
itu tiba-tiba saja menarik salah satu sepeda motor milik prajurit yang ternyata
seorang marinir dan membakarnya. Saat itu juga Syarifuddin Rambe dan Sofyan
Sulaiman beserta dua orang lainnya ditangkap aparat keamanan.
Turut ditangkap juga Ahmad Sahi, Pengurus Musholla
As-sa’adah dan satu orang lagi yang saat itu berada di tempat kejadian,
selanjutnya Mohammad Nur yang membakar motor ditangkap juga. Akibat penahanan
empat orang tadi kemarahan massa menjadi tak terbendung lagi, yang kemudian
memunculkan tuntutan pembebasan ke empat orang yang ditangkap tadi.
Kodim, yang diminta bantuan oleh Koramil, mengirim
sejumlah tentara dan segera melakukan penangkapan. Ikut tertangkap 4 orang
jamaah, di antaranya termasuk Ketua Mushala as-Sa’adah tersebut.
Selasa, 11 September 1984
Pada tanggal 11 September 1984, Massa yang masih
memendam kemarahannya itu datang ke salah satu tokoh didaerah itu yang bernama
Amir Biki, karena tokoh ini dikenal dekat dengan para perwira di Jakarta.
Maksudnya agar ia mau turun tangan membantu membebaskan para tahanan. Sudah
sering kali Amir Biki menyelesaikan persoalan yang timbul dengan pihak militer.
Amir Biki menghubungi pihak-pihak yang berwajib untuk
meminta pembebasan empat orang jamaah yang ditahan oleh Kodim, yang diyakininya
tidak bersalah. Peran Amir Biki ini tidak perlu mengherankan, karena sebagai
salah seorang pimpinan Posko 66, dialah orang yang dipercaya semua pihak yang
bersangkutan untuk menjadi penengah jika ada masalah antara penguasa (militer)
dan masyarakat. Usaha Amir Biki untuk meminta keadilan ternyata tidak berhasil
dan sia-sia.
Rabu, 12 September 1984
Dalam suasana tantangan yang demikian, acara pengajian
remaja Islam di Jalan Sindang Raya, yang sudah direncanakan jauh sebelum ada
peristiwa Mushala as-Sa’adah, terus berlangsung juga. Penceramahnya tidak
termasuk Amir Biki, yang memang bukan mubalig dan memang tidak pernah mau naik
mimbar.
Akan tetapi, dengan latar belakang rangkaian kejadian
di hari-hari sebelumnya, jemaah pengajian mendesaknya untuk naik mimbar dan
memberi petunjuk. Pada kesempatan pidato itu, Amir Biki berkata antara lain,
“Mari kita buktikan solidaritas islamiyah. Kita
meminta teman kita yang ditahan di Kodim. Mereka tidak bersalah. Kita protes
pekerjaan oknum-oknum ABRI yang tidak bertanggung jawab itu. Kita berhak
membela kebenaran meskipun kita menanggung risiko. Kalau mereka tidak
dibebaskan maka kita harus memprotesnya.”
Dihadapan massa, Amir biki berbicara dengan keras,
yang isinya mengultimatum agar membebaskan para tahanan paling lambat pukul
23.00 Wib malam itu juga. Bila tidak, mereka akan mengerahkan massa untuk
melakukan demonstrasi.
Selanjutnya, Amir Biki berkata, “Kita tidak boleh
merusak apa pun! Kalau ada yang merusak di tengah-tengah perjalanan, berarti
itu bukan golongan kita (yang dimaksud bukan dari jamaah kita).”
Saat ceramah usai, berkumpulah sekitar 1500 orang
demonstran yang bergerak menuju kantor Polsek dan Kormil setempat. Pada waktu
berangkat jamaah pengajian dibagi dua: sebagian menuju Polres dan sebagian
menuju Kodim.
Kelompok Yang Menuju Polres
Setelah sampai di depan Polres, kira-kia 200 meter
jaraknya, di situ sudah dihadang oleh pasukan ABRI berpakaian perang dalam
posisi pagar betis dengan senjata otomatis di tangan. Massa demonstran
berhadapan langsung dengan pasukan tentara yang siap tempur.
Pada saat pasukan mulai memblokir jalan protokol,
mendadak para demonstran sudah dikepung dari segala penjuru. Saat itu massa
tidaklah beringas, sebagian besar mereka hanya duduk-duduk sambil
mengumandankan takbir.
Sesampainya jamaah pengajian ke tempat itu, terdengar
militer itu berteriak, “Mundur-mundur!” Teriakan “mundur-mundur” itu disambut
oleh jamaah dengan pekik, “Allahu Akbar! Allahu Akbar!”
Saat itu militer mundur dua langkah, tanpa peringatan
lebih dahulu terdengarlah suara tembakan, lalu diikuti oleh pasukan yang
langsung mengarahkan moncong senjatanya ke arah demonstran, lalu memuntahkan
senjata-senjata otomatis dengan sasaran para jamaah pengajian yang berada di
hadapan mereka, selama kurang lebih tiga puluh menit!
Jamaah pengajian lalu bergelimpangan sambil menjerit
histeris, tersungkur berlumuran darah. Beratus-ratus umat Islam jatuh menjadi
syuhada! Disaat para demonstran yang terluka berusaha bangkit untuk menyelamatkan
diri, pada saat yang sama juga mereka diberondong senjata lagi.
Malahan ada anggota militer yang berteriak, “Bangsat!
Pelurunya habis. Anjing-anjing ini masih banyak!” Lebih sadis lagi, mereka yang
belum mati ditendang-tendang dan kalau masih bergerak maka ditembak lagi sampai
mati.
Tak lama berselang datang konvoi truk militer dari
arah pelabuhan menerjang dan menelindas demostran yang sedang bertiarap di
jalan. Dia buah mobil truk besar beroda sepuluh buah dalam kecepatan tinggi
yang penuh dengan pasukan. Dari atas mobil truk besar itu dimuntahkan
peluru-peluru dan senjata-senjata otomatis ke sasaran para jamaah yang sedang
bertiarap dan bersembunyi di pinggir-pinggir jalan.
Lebih mengerikan lagi, truk besar tadi berjalan di
atas jamaah pengajian yang sedang tiarap di jalan raya, melindas mereka yang
sudah tertembak atau yang belum tertembak, tetapi belum sempat menyingkir dari
jalan raya yang dilalui oleh mobil truk tersebut.
Jeritan dan bunyi tulang yang patah dan remuk digilas
mobil truk besar terdengar jelas oleh para jamaah umat Islam yang tiarap di
got-got/selokan-selokan di sisi jalan.
Dari atas truk tentara dengan membabi buta masih
menembaki para demonstran. Dalam sekejap jalanan dipenuhi oleh jasad-jasad
manusia yang telah mati bersimbah darah. Sedang beberapa korban yang terluka
tidak begitu parah berusaha lari menyelamatkan diri berlindung ke tempat-tempat
disekitar kejadian.
Setelah itu, truk-truk besar itu berhenti dan turunlah
militer-militer itu untuk mengambil mayat-mayat yang bergelimpangan dan
melemparkannya ke dalam truk bagaikan melempar karung goni.
Dua buah mobil truk besar itu penuh oleh mayat-mayat
atau orang-orang yang terkena tembakan yang tersusun bagaikan karung goni.
Sembari para tentara mengusung korban-korban yang mati dan terluka ke dalam
truk militer, masih saja terdengar suara tembakan tanpa henti.
Semua korban dibawa ke rumah sakit tentara di Jakarta,
sementara rumah sakit-rumah sakit yang lain dilarang keras menerima korban
penembakan Tanjung Priok.
Sesudah mobil truk besar yang penuh dengan mayat
jamaah pengajian itu pergi, tidak lama kemudian datanglah mobil-mobil ambulans
dan mobil pemadam kebakaran yang bertugas menyiram dan membersihkan darah-darah
di jalan raya dan di sisinya, sampai bersih.
Bagus,,
BalasHapus